Cerita Patriotisme Pahlawan Kusuma Bangsa di Bangilan

Jembatan Kereta Api yang tersisa

Bangilan – Senori Tempat pengungsian Mbah Mahfudz Salam Kajen

Sebentar lagi tanggal kemerdekaan akan di kumandangkan, 17 Agustus 1945 sebagai Awal indonesia menyongsong kemerdekaan setelah sekian lama dijajah oleh Belanda kurang lebih selama 350 tahun.

Kemerdekaan indonesia adalah hasil jerih payah perjuangan dari para pahlawan yang merelakan darah dan nyawanya sebagai tebusan kemerdekaan. disetiap daerah pasti mempunyai sejarahnya masing_tentang tentang kisah patriotisme pahlawan.

Bangilan, salah satu kecamatan Tuban yang terletak di bagian selatan, yang berdekatan dengan jalur perbatasan cepu, blora juga terdapat beberapa banyak kisah patriotisme. salah satunya adalah tertangkapnya pahlawan dari jejaring santri KH. Mahfudz Salam Pati di stasiun Bangilan setelah beberapa bulan bersembunyi dari buronan belanda.

KH. Mahfudz salam adalah putra dari KH Abdussalam bin Abdullah, ulama kesohor yang terkenal alim di Bumi Pati, tepatnya di kec. Kajen, pendiri dari pada pesantren Mathaliul Falah 1912. Ia adalah saudara kandung dari KH Abdullah zaen(mbah Abullah salam), dan juga ayah dari KH Sahal Mahfudz dan KH Hasyim yang syahid di medan laga ditembak oleh Belanda.

Syahdan, KH. Mahfudz salam adalah figur ulama yang alim dan ahli qur’an. ayah dari KH Sahal mahfudz ini semasa hidupnya tidak hanya beliau sibukkan mengajar para santri di pondok yang didirikan oleh ayahnya, melainkan ia juga berperan aktif melakukan konsolidasi politik untuk memperjuangkan tanah air. jiwa kesantrianya Ia leburkan dalam semangat nasionalisme, atau yang biasa di istilahkan oleh syaikhina Maimoen zubair santri yang relegius dan nasionalis. seakan kedua sisi ini menyatu dan tak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi mata uang.

Cinta Tanah Air Adalah Bagian Dari Pada Iman

Sejarah telah membuktikan bahwa ulama dan santri mempuyai peran penting dalam memperjuangkan kemerdekaan RI, mulai dari sebelum, setelah perang diponegara dan meledaknya perang 10 November di Surabaya, santri berjuang mati matian membela tanah Air. seakan jargo “Cinta Tanah Air adalah bagian dari pada iman” sudah menjadi olah lakunya, tidak sekedar sebagai kata_kata.

KH Mahfudz salam termasuk sosok ulama yang ahli strategi politik, menurut keterangan yang penulis dapat bahwa beliau dulu sering di tamoni oleh orang Belanda dikediamanya. bukan untuk menjalin kerjasama melainkan berstrategi untuk mengetahui kekuatan lawan dari dekat, satu sisi juga menjaga keamanan pendidikan pesantren yang didirikan oleh Ayahnya dari intimidasi Belanda. kata orang jawa “kalau hendak perang, kudu ndue keris”. kalau hendak melawan belanda segalanya harus di persiapkan termasuk menyusun strategi, mengetahui kelemahan mereka.

Saat tahun 1942 M, Belanda posisinya sudah mulai terganggu dengan hadirnya penjajah Baru Jepang. gerakan yang dilakukan oleh jepang pertama awal menjajah cukup ekstrem dan radikal, mereka melakukan penjarahan dan perampokan harta milik pribumi. dengan ketepatan analisa dari KH Mahfudz yang sudah tahu pergerakan jepang, maka pusat harta pribumi yang berada di pegadaian Ia duduki dengan satri dan pasukan beliau, selanjutnya harta tersebut dibagikan kepada masyarakat.

Sontak peristiwa ini menyulut kemarahan Belanda, sebab Pegadaian adalah aset utama yang dimiliki Belanda saat itu. lanjut lagi kemarahan Belanda mulai memuncak ketika Beliau mengomandoi pembakaran Gereja Kristen Milik Belanda di Tayu yang dijadikan sebagai tempat konsolidasi politik belanda dan pusat kristenisasi.

Tertangkap di Stasiun Kereta Api Bangilan

Stasiun kereta api yang tersisa dekat Bangilan (Jatirogo)

Akhirnya, KH. Mahfudz menjadi buronan Belanda, amat tidak aman kalau masih menetap di Pati. kemudian lewat jejaring pesantren yang terbangun sejak lama dari generasi penerus perjuangan Diponegara, beliau mengungsi ke arah Timur tepatnya di Desa Jambangan, Bangilan dan Senori yang diketahui sejak dulu sebagai sentralnya pesantren dan pejuang di wilayah Tuban.

di Jambangan beliau bersembunyi di pesantren tua generasi ke dua dari pasukan Diponegara yang tersebar di penjuru tanah Jawa. dahulu desa ini adalah pusat pesantren Bangilan. terkenal saat itu Mbah Abdul karim leluhur dari pendiri pon pes tanggir juga dari jambangan di ambil mantu oleh seorang kyai yang masih ada trah dengan P. sumoyudho, saudara dari sumonegara leluhurnya KH MahfudZ dari mbah Mutamakkin Kajen. kisah ini penulis dapat dari keterangan Kyai Mustakim, sesepuh jambangan yang masih cucu dari ulama Jambangan. kalau menurut keterangan dari KH. Sungkono Rois syuriah NU Bangilan, bahwa KH. Mahfudz dulu bersembunyi di daerah Tapen, Senori Tuban. lokasi yang cukup berdekatan dengan jambangan. kemungkin beliau bersembunyi dan berpindah pindah di antara kedua tempat ini untuk mengelabuhi sekutu Belanda.

Kemudian peristiwa tertangkapnya beliau ada dua versi cerita, pertama cerita yang penulis dapatkan dari litelatur hasil wawancara atau keteragan dari dzurriyah kajen. bahwa saat masa persembunyian, Belanda melakukan siasat busuk, menangkap ayahnya, KH. Abdussalam beserta kiyai lain dan menyiksa mereka, lantas kabar itu terdengar oleh KH. Mahfudz. saat hendak pulang dari stasiun Bangian, ia ditangkap oleh sekutu Belanda dan di penjara di Benteng william 1 Ambarawa.

Cerita kedua berasal dari cerita tutur yang penulis dapatkan dari sejumlah keterangan para kyai di desa jambangan, desa Modjo dan dibenarkan oleh KH. Sungkono, bahwa dulu ada salah satu santri yang berkhianat menjadi informan belanda mengabarkan kepada KH Mahfudz kalau kondisi di Kajen sudah aman. akhirnya beliau hendak pulang lewat jalur kereta Api Bangilan, namun nahas saat beliau hendak masuk gerbang kereta, sekutu Belanda sudah menangkapnya dengan jumlah personel yang cukup banyak, lalu kemudian beliau di bawa dan di penjara ditahanan benteng william 1 Ambarawa. (Shofiyul Burhan)

admin

Belajar Peduli

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Meriahkan Hari Kemerdekaan, Sobat Bangilan Adakan Lomba Bersama Warga

Sel Agu 17 , 2021
Merdeka adalah suatu hak kendali penuh atas diri sendiri. Republik Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam rangka memperingati 76 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, dan untuk memeriahkan ulang tahun kemerdekaan, Sobat Bangilan mengadakan berbagai serangkaian lomba bersama warga sekitar Basecamp Sobat Bangilan, di dusun Pulut RT.06/03 desa […]

Mungkin Anda Tertarik